BAB I
PENDAHULUAN
1. Pengantar
Bahasa
merupakan sarana komunikasi dan sudah menjadi bagian aktivitas sosial manusia.
Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru
terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan
mitra tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur
tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap
tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung
jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam
interaksi lingual itu (Allan dalam Putu,1996).
Nampaknya
pernyataan Allan tersebut perlu dibuktikan dalam sebuah analisis terhadap
tuturan antara penutur dan mitra tutur yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Saat ini ilmu pragmatik sudah tidak asing lagi di telinga. Ilmu
ini muncul untuk menangani ilmu-ilmu kebahasaan lainnya yang mulai “angkat
tangan” terhadap tuturan yang secara struktur melanggar kaidah atau tidak
sesuai dengan prinsip.
Pernyataan
Allan yang berbunyi “Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap
tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual
itu…”, menggambarkan bahwa penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan sering
terjadi. Penyimpangan dalam tuturan memang sering terjadi, baik itu secara
struktur kalimat atau pun terhadap prinsip. Penyimpangan terhadap struktur
kalimat sudah tentu dapat diatasi oleh ilmu sintaksis dan “kawan-kawan”, namun
beda lagi dengan pelanggaran terhadap prinsip. Pelanggaran terhadap prinsip ini
hubungannya dengan makna secara eksternal dan situasi tuturan, sehingga ilmu
yang cocok untuk menangani masalah ini adalah ilmu pragmatik.
Seperti halnya tuturan yang akan dibahas dalam laporan hasil penelitian sederhanai ini.
Seperti halnya tuturan yang akan dibahas dalam laporan hasil penelitian sederhanai ini.
Terdapat
pelanggaran terhadap prinsip kerjasama yaitu terhadap maksim relevansi dan
maksim kuantitas. Akan tetapi pelanggaran tersebut dianggap “wajar” oleh
“kacamata” prinsip maksim kesopanan. Lebih jelasnya, akan dibahas berikutnya
dalam “Prinsip Kerjasama cs Prinsip Kesopanan”.
2. Sumber Data
1) Narasumber
Dalam
penelitian ini terdapat tiga narasumber, yang pertama adalah Siswa Perempuan
dengan inisial R, latar belakang pendidikan masih siswa kelas III SMP dan S
berjenis kelamin laki-laki, dengan latar belakang pendidikan SMP kelas III,
mereka semua termasuk golongan siswa yang sedang kelas III dan mereka asli
penduduk Lombok Sasak dan berbahasa Daerah Sasak sehari-hari.
2) Waktu Pengambilan Data
Pengambilan
data dilakukan di daerah Sekolah dimana peneliti mengajar di SMP Lab.
Hamzanwadi Pancor. Pengambilan data ini melalui rekaman, dan lagsung pengamatan
oleh peneliti di lapangan dan berinteraksi langsung secara alami dengan siswa
tersebut. Penelitian dilakukan pada tanggal 2 sampai 3 Desember 2012.
3) Metode Pengambilan Data
Metode
pengambilan data yang digunakan adalah metode kualitatif sehingga data yang
diperoleh merupakan tuturan alami yang dihasilkan oleh siswa tersebut. Dengan
metode kualitatif ini data dianalisa dari hasil rekaman setelah diadakan
transkrip ulang hasil rekaman yang dilakukan oleh peneliti. Percakapan yang
berlangsung alami direkam dengan tanpa diketahui oleh narasumber. Kemudian data
yang telah diperoleh dikaji dengan “Prinsip Kerjasama” dan “Prinsip Kesopanan”.
4) Tujuan Penelitian
Tujuan dari
adanya penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) mengetahui
pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pragmatik, khususnya prinsip
kerjasama demi mengejar prinsip sopan santun berbahasa dalam percakapan orang Sasak,
serta (2) mengetahui bagaimana pengaruh situasi dan latar belakang sosial
terhadap makna suatu tuturan.
3. Landasan Teori
1) Pengertian Pragmatik
Dalam tulisan
Putu Wijana diungkapkan bahwa ilmu pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang
menelaah makna-makna satuan lingual secara eksternal.
Yule (1996: 3 (dalam Subuki, [online])), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Yule (1996: 3 (dalam Subuki, [online])), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995:
2, dalam Subuki, [online])) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi
menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial,
menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan
kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik
dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya
Thomas (1995:22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis
yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks
ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari
sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji
makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Leech (1983: 6, (dalam Subuki, 2007 [online])) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
Leech (1983: 6, (dalam Subuki, 2007 [online])) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
Ada beberapa topik
pembahasan dalam ilmu pragmatik yaitu teori tindak-tutur, prinsip kerja sama (Cooperative
Principle), implikatur (Implicature), teori relevansi, dan kesantunan
(Politeness).
2) Prinsip Kerjasama
Dalam
komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang penutur
mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada
lawan bicaranya, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak
dikomunikasikan itu. Untuk itu penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu
relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise),
dan selalu pada persoalan (straight forward), sehingga tidak
menghabiskan waktu lawan bicaranya. (Dewa Putu Wijana, 1996)
Bila dalam
suatu percakapan terjadi penyimpangan, ada implikasi-implikasi tertentu yang
hendak dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang
bersangkutan tidak melaksanakan kerjasama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi,
secara ringkas dapat diasumsikan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang
harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan
lancar.
Dalam Dewa
Putu Wijana (1996) dikemukakan pendapat Grice dan Austin bahwa di dalam rangka
melaksanakan prinsip-prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi 4
maksim percakapan (conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim
of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim
of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner).
a. Maksim Kuantitas
Maksim
kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang
secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.
b. Maksim Kualitas
Maksim kualitas
mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi
pesertapercakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Apabila
patuh pada prinsip ini, jangan pernah mengatakan sesuatu yang diyakini bahwa
itu kurang benar atau tidak benar.
c. Maksim Relevansi
Maksim
relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang
relevan dengan masalah pembicaraan.
d. Maksim Pelaksanaan
Maksim
pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung,
tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut.
3) Prinsip Kesopanan
Prinsip
kesopanan memiliki beberapa maksim yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim),
maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation
maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement
maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan
ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan
orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur.
(Dewa Putu Wijana, 1996)
Ada beberapa bentuk
ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan maksim-maksim di atas. Bentuk
ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran impositif, komisif, ekspresif, dan
asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk
menyatakan janji atau penawaran. Ujaran impositif adalah ujaran yang digunakan
untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang
digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan.
Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran
proposisi yang diungkapkan.
a. Maksim kebijaksanaan
Maksim ini
diutarakan dalam tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap
peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan
keuntungan bagi orang lain. Dalam hal ini Leech (dalam Wijana, 1996)mengatakan
bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu
untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang
diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan
tuturan yang diutarakan secara langsung.
b. Maksim kemurahan
Maksim
kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat
kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.
c. Maksim penerimaan
Maksim
penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif. Maksim ini
mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri
sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.
d. Maksim kerendahan hati
Maksim
kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta
pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan
meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
e. Maksim kecocokan
Maksim
kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan
kecocokan diantara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
f. Maksim kesimpatian
Maksim ini
diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian
mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan
meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapatkan
kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila
lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau
mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.
4) Antara Prinsip Kerjasama dan
Prinsip Kesopanan
Dalam Leech
(1993) dijelaskan bahwa Prinsip Kerjasama dibutuhkan untuk mempermudah
menjelaskan hubungan antara makna dan daya; penjelasan yang demikian sangat
memadai, khususnya untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam semantik
yang memakai pendekatan berdasarkan kebenaran (truth-based approach).
Tetapi prinsip
kerjasama itu sendiri tidak dapat menjelaskan, mengapa manusia sering
menggunakan cara yang tidak langsung untuk menyampaikan apa yang mereka maksud;
dan apa hubungan antara makna dan daya dalam jenis-jenis kalimat yang bukan
kalimat pernyataan/deklaratif (non-declarative). Maka, di sinilah peranan
kesopanan menjadi penting.
Ada sebagian masyarakat
yang dalam situasi-situasi tertentu lebih mementingkan prinsip kesopanan
daripada prinsip kerjasama, atau lebih mendahulukan maksim prinsip kesopanan
yang satu daripada yang lain.
Dalam hal ini
harus diakui bahwa kedudukan prinsip kerjasama lemah sekali bila kasus-kasus
perkecualian tidak dijelaskan dengan memuaskan. Untuk dapat memberikan
penjelasan yang memuaskan kita membutuhkan prinsip kesopanan. Karena itu,
prinsip kesopanan tidak boleh dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekadar
ditambahkan saja pada prinsip kerjasama, tetapi prinsip kesopanan merupakan
komplemen yang perlu.
Fungsi sosial
umum yang dijalankan oleh prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan tidak boleh
luput dari perhatian, dan hubungan ‘tawar-menawar’ yang ada antara kedua
prinsip tersebut. Prinsip kerjasama memungkinkan seorang peserta percakapan
untuk berkomunikasi dengan asumsi bahwa peserta yang lain bersedia bekerja sama.
Dalam hal ini
prinsip kerjasama berfungsi mengatur apa yang dikatakan oleh peserta percakapan
sehingga tuturan dapat menyumbang kepada tujuan ilokusi atau tujuan wacana.
Namun dapat dikatakan bahwa dalam hal atur-mengatur tuturan peserta, prinsip
kesopanan berperan menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan, karena
hanya dengan hubungan yang demikian kita dapat mengharapkan bahwa peserta yang
lain akan bekerja sama. Dalam situasi tertentu, prinsip kesopanan menduduki
tempat kedua. Hal ini terjadi pada suatu kegiatan kerja sama berupa pertukaran
informasi-informasi yang sangat dibutuhkan oleh kedua belah pihak.
Dari uraian di
atas dapat kita ketahui bahwa antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan
selalu tidak sejalan. Hal tersebut sesuai dengan keterangan Grice dalam Leech
yang menyatakan bahwa kalau kita ingin sopan kita sering dihadapkan pada
benturan antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan sehingga kita harus
memutuskan sejauh mana kita akan tawar-menawar antara prinsip kerjasama dengan
prinsip kesopanan.
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Perhatikanlah cuplikan dialog
pendek berikut ini:
a. Di sekolah sedang berada di dalam kelas. Rahmi sedang makan, dan
Selamet
datang
Rahmi : “ke mek, ngaken jaja ke!”
(“ayo kamu mau makan ya)
Selamet : “ngeno ke, tao lalo, dek ku semel, ke terusang be… beruk ku jera
Rahmi : “ke mek, ngaken jaja ke!”
(“ayo kamu mau makan ya)
Selamet : “ngeno ke, tao lalo, dek ku semel, ke terusang be… beruk ku jera
endah.”
(“bener nih, baik sekali hatimu, malu aku, silahkan terusin aja, saya
(“bener nih, baik sekali hatimu, malu aku, silahkan terusin aja, saya
baru saja selesai”)
Rahmi : “tumben po, mek ilak….ke mene pe, kedung na arak pe pada sekejik,
Rahmi : “tumben po, mek ilak….ke mene pe, kedung na arak pe pada sekejik,
sok gita rasana mene pada sekejik pe””
(tumben
sekali kamu malu…ayo ini, kebetulan ada, kita sama-sama
sedikit, yang penting cicipi
dulu rasanya, kita sama-sama sedikit aja.!)
Dilihat secara
sepintas, dialog tersebut terkesan sangat sopan. Namun, apabila seseorang yang
membaca dialog tersebut tidak mengetahui situasinya seperti apa, maka orang
tersebut akan merasa janggal dengan struktur dialognya. Kejanggalan terjadi
akibat dari percakapan yang kurang relevan antara tuturan R dengan tuturan S. Ketidak relevanan ini terjadi akibat pelanggaran
terhadap prinsip kerjasama yaitu maksim relevansi.
Namun,
pelanggaran terhadap prinsip kerjasama tersebut tidak menjadi kesalahan fatal
karena pelanggaran tersebut terjadi akibat tuntutan untuk memenuhi prinsip
kesopanan. Dalam setiap tuturan, prinsip kesopanan merupakan suatu aspek yang
perlu, apalagi dialog tersebut terjadi dalam linkungan budaya Sasak yang
terkenal dengan perilaku sopan santunnya. Mari kita lihat tuturan S dalam
dialog di atas apabila patuh terhadap maksim relevansi:
Rahmi : “ke mek, ngaken jaja ke!”
(“ayo kamu mau makan ya)
Selamet : “ngeno ke, tao lalo, dek ku semel, ke terusang be… beruk ku jera
(“ayo kamu mau makan ya)
Selamet : “ngeno ke, tao lalo, dek ku semel, ke terusang be… beruk ku jera
endah.”
(“bener nih, baik sekali hatimu, malu aku, silahkan terusin aja, saya
(“bener nih, baik sekali hatimu, malu aku, silahkan terusin aja, saya
baru
saja selesai”)
Menurut
pendapat saya (berdasarkan pada kebudayaan Sasak) dialog tersebut menggunakan istilah
Leech sehingga terkesan kurang sopan apalagi situasinya terjadi dalam
percakapan antara seorang perempuan dan laki meskipun teman sekelas yang
keduanya sering tidak akur dalam keseharian ketika diamati oleh peneliti. Dalam
situasi akrab atau mungkin dalam konteks kebudayaan luar Sasak, dialog yang
tersebut sah-sah saja. Namun, lain halnya dengan orang Sasak yang senang
berbasa-basi, dialog tersebut akan dinilai kurang sopan karena terjadi dalam
situasi yang kurang akrab.
Pada bagian
dialog terakhir R mengemukakan tuturan dengan maksim kerendahan hati yaitu:
Rahmi : “tumben
po, mek ilak….ke mene pe, kedung na arak pe pada sekejik,
sok gita rasana mene pada sekejik pe””
(tumben sekali kamu malu…ayo ini, kebetulan
ada, kita sama-sama
sedikit, yang penting cicipi
dulu rasanya, kita sama-sama sedikit aja.!)
Tuturan yang
diungkapkan R di atas terlihat memaksimalkan penggunaan maksim kesopanan pada
dirinya sendiri dengan menyatakan bahwa tawaran yang diberikan berlebihan walaupun
kenyataannya tidak begitu.
b. [Di Waktu les (sekolah
sore), antara Rahmi dan salah seorang teman Perempuan
A : “Mbe te batur-batur te
endah, kan
ndarak man pada dateng? Kanna sepi?”)
(mana teman-teman kita juga,.. kenapa
mereka belum datang, kenapa sepi?
B : “Meno itono pe… ya pada
ngecap…lek mudin kelas.”
(“itu disana, mereka semua pada ngerumpi
..di belakang kelas.”)
A : “ngumbe angkun PR si
surukna Pak Rozali ino, wah jari ke slapuk?
(bagaimana PR yang disuruh sama Pak
Rozali itu, apakah semua sudah jadi?
B : “arak si jari deit arak si
ndek man endah,
(ada yang belum jadi dan ada juga yang
sudah)
A : “sik embe-embe ndek epe man
jari, bauk ke ta gita sekejik kenik epe, ndeh
aok ngeno?
(yang mana-mana yang belum jadi, bisa
ndak saya lihat punya kamu sedikit
aja, ya bilang)
B : “le trang buek salak aku ne,
bareh buek salah epe, tiang ngaran-ngarang endah
ne,
(ndak usah, mugkin salah semua punya
saya, ndak usah nanti kamu juga
salah, saya asal bikin aja ini yang
penting jadi).
A : “Aok ka, aku wah jari so
endah meno, bee.. timbang ndek ta ngumpulang
aluran be ka, ngumbe-ngumbe na).
(ya sudah, itu punyaku sudah jadi juga,
daripada saya tidak ngumpulkan,
saya pasrah, giman-giman yang terjadi)
B : “aok po, aku endah, sok na
jari be isiku, timbang ndek ku ngumpulang, laguk
mudah-mudahan kee na kenak salpukna,
lelah ku gawekya malen sampei
lembur.
(ya sih, saya juga… saya buat asal jadi
saja, daripada saya tidak ngumpulkan,
tapi mudah-mudahan saja semuanya benar,
karena saya sampai lembur tadi
malam ngerjakannya)
Dialog di atas
terlihat didominasi oleh tuturan pihak B. Setiap satu pertanyaan yang
disampaikan A dijawab oleh B dengan lebih dari satu informasi. Dalam “kacamata”
prinsip kerjasama, dialog tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap
maksim kuantitas. Namun, coba kita telusuri lebih jauh penyebab pelanggaran
tersebut dari “kacamata” prinsip kesopanan.
Umumnya,
panjang pendek suatu tuturan dapat menentukan tingkat kesopanan tuturan
tersebut. Hal itu sesuai dengan pernyataan Putu Wijana (1996) bahwa semakin
panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap
sopan kepada lawan bicaranya. Seperti yang terjadi pada dialog di atas, situasi
dialog tersebut temasuk ke dalam situasi percakapan tidak akrab. Hal tersebut
wajar saja, karena antara penutur dan mitra tutur bukan teman karibnya, apalagi
pihak B statusnya sebagai teman lain kelas dan ditinjau dari umur, beliau lebih
tua daripada A. Namun, antara A dan BY dalam tuturan selanjutnya terkesan lebih
akrab dan lebih terbuka. Apakah kira-kira faktor penyebab perubahan situasi
percakapan tersebut?
Ternyata,
disinilah peran prinsip kesopanan dibutuhkan untuk membuat situasi yang asalnya
kaku menjadi lebih akrab. Sikap Y yang selalu memaksimalkan ketidakhormatan
pada dirinya sendiri dan memaksimalkan kehormatan bagi orang lain (maksim
kerendahan hati, menurut Putu) membuat X tidak merasa canggung untuk
melanjutkan percakapan. Lain halnya apabila Y menjawab sesuai dengan maksim
kuantitas (jawaban seperlunya), kesan yang ditimbulkan kurang sopan dan situasi
pun akan menjadi canggung.
5. Kesimpulan
Pragmatik
merupakan cabang ilmu bahasa yang terhitung baru dibandingkan dengan ilmu
bahasa lainnya seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Namun,
pragmatik langsung menempati posisi yang tidak kalah penting dalam kajian ilmu
bahasa. Hal tersebut disebabkan oleh jangkauan ilmu pragmatik yang tidak hanya
mencakup maksud suatu tuturan, tetapi juga situasi tuturan sehingga dapat
menjelaskan maksud yang tidak dapat dijelaskan oleh cabang ilmu bahasa lainnya.
Ada beberapa
topik pembahasan dalam ilmu pragmatik yaitu teori tindak-tutur, prinsip kerja
sama (Cooperative Principle), implikatur (Implicature), teori relevansi, dan
kesantunan (Politeness).
Dari paparan
pembahasan terhadap hasil penelitian di atas ternyata pernyataan Leech (1993)
yang menyatakan bahwa “Ada
sebagian masyarakat yang dalam situasi-situasi tertentu lebih mementingkan
prinsip kesopanan daripada prinsip kerjasama, atau lebih mendahulukan maksim
prinsip kesopanan yang satu daripada yang lain”, memang dapat dibuktikan
kebenarannya. Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh situasi dimana
tuturan itu berlangsung. Dalam pembahasan di atas, situasi tuturan berlangsung
dalam lingkungan masyarakat Sunda yang terkenal dengan kesopansantunannya.
Kemudian, situasi kedua yang menyebabkan terbenturnya prinsip kerjasama dengan
prinsip kesopanan adalah karena situasi keformalan. Tuturan tersebut termasuk
tuturan yang “mendekati” formal karena antara penutur dan mitra tutur tidak
saling mengenal (penutur adalah seorang tamu sedangkan mitra tutur adalah tuan
rumah).
Dalam hal ini
harus diakui bahwa kedudukan prinsip kerjasama lemah sekali bila kasus-kasus
perkecualian tidak dijelaskan dengan memuaskan. Untuk dapat memberikan
penjelasan yang memuaskan kita membutuhkan prinsip kesopanan. Karena itu,
prinsip kesopanan tidak boleh dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekadar
ditambahkan saja pada prinsip kerjasama, tetapi prinsip kesopanan merupakan
komplemen yang perlu. Jadi, dalam masalah ini prinsip kerjasama dan prinsip
kesopanan dapat saling melengkapi kekurangan satu sama lain dalam memperjelas
maksud suatu tuturan walaupun kadang terjadi benturan antara prinsip kerjasama
dengan prinsip kesopanan.
6. Referensi
- Aziz, E. Aminudin. 2008. Horizon Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang Terserak, Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki. Penerbit: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
- Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik (terjemahan). Penerbit: Universitas Indonesia (UI-Press).
- Subuki, Makyun. 2007. Mengapa Pragmatik Perlu Dipelajari Dalam Program Studi Linguistik?. [online]. Tersedia di: www.tulisanmakyun.wordpress.com.
- Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: ANDI.
- Kbbi sunda………
- Aziz, E. Aminudin. 2008. Horizon Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang Terserak, Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki. Penerbit: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
- Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik (terjemahan). Penerbit: Universitas Indonesia (UI-Press).
- Subuki, Makyun. 2007. Mengapa Pragmatik Perlu Dipelajari Dalam Program Studi Linguistik?. [online]. Tersedia di: www.tulisanmakyun.wordpress.com.
- Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: ANDI.
- Kbbi sunda………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar