PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
UU Sisdiknas No. 20
tahun 2003 menyebutkan “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Sehubungan dengan tujuan pendidikan sebagaimana terungkap di atas yakni
untuk mengembangkan potensi kognitif, sikap dan keterampilan peserta didik maka
pendidik/tenaga kependidikan memikul tanggung jawab untuk membimbing,
mengajar dan melatih murid atas dasar norma-norma yang berlaku baik norma
agama, adat, hukum, ilmu dan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Untuk mewujudkan
tujuan itu perlu ditanamkan sikap disiplin, tanggung jawab, berani mawas diri,
beriman dan lain-lain. Hukuman pun sering diterima siswa manakala mereka
melanggar tata tertib yang telah disepakati. Hukuman itu dimaksudkan
sebagai upaya mendisiplinkan siswa terhadap peraturan yang berlaku. Sebab,
dengan sadar pendidik memegang prinsip bahwa disiplin itu merupakan kunci
sukses hari depan. Apakah bentuk-bentuk hukuman bisa dikembangkan untuk
mendisiplinkan siswa? Pertanyaan seperti inilah menjadi dilema bagi kaum
pendidik dalam mengemban kewajiban dan tanggung jawabnya.
Apabila sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan
niscaya perilaku siswa akan lebih semrawut. Kita bisa
menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak,
apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan
menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus
benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan
hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan
pendidik, bagaikan halilintar di waktu siang bolong, banyak yang menyepelekan.
B. Masalah
Dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa permasalahan yang dikemukakan
antara lain:
1.
Apa hakikat dari Hukuman dalam dunia pendidikan?
2.
Bagaimanakah pendapat para Pakar
Pendidikan tentang haruskan Hukuman ada dalam dunia pendidikan?
3.
Bagaimana jenis-jenis Hukuman yang harus
diterapkan oleh Pendidik kepada anak didiknya?.
C.
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui
1.
Hakikat dari Hukuman dalam dunia
pendidikan.
2.
Pendapat para pakar Pendidikan tentang
haruskah Hukuman ada dalam dunia pendidikan.
3.
sepertia apa jenis-jenis Hukuman yang
harus diterapkan oleh Pendidik kepada anak didiknya.
LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN
A. Hakikat
Hukuman
1. Pengertian
Hukuman
Seperti telah diketahui bersama bahwa
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran tidak akan terlepas dari pada bagaimana
cara untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dari semula dan/atau bagaimana
cara mengajar agar bisa berjalan dengan lancar berdasarkan metode atau alat
yang akan digunakan. Alat pendidikan ialah suatu tindakan atau situasi yang
sengaja diadakan untuk tercapainya suatu tujuan pendidikan tertentu.
Dalam menggunakan alat pendidikan ini,
pribadi orang yang menggunakannya adalah sangat penting, sehingga penggunaan
alat pendidikan itu bukan sekedar persoalan teknis belaka, akan tetapi
menyangkut persoalan batin atau pribadi anak. Hukuman sebagai salah satu teknik
pengelolaan kelas sebenarnya masih terus menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi,
apa pun alasannya, hukuman sebenarnya tetap diperlukan dalam keadaan sangat
terpaksa, katakanlah semacam pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan.
Hukuman merupakan alat pendidikan represif, disebut juga alat pendidikan
korektif, yaitu bertujuan untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang
benar dan/atau yang tertib.
Alat pendidikan represif diadakan bila
terjadi suatu perbuatan yang diangap bertentangan dengan peraturan-peraturan
atau suatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan. Penguatan negatif dan
penghapusan sebenarnya bernilai hukuman juga. Menyajikan stimulus tidak
menyenangkan dalam pemakaian teknik penguatan negatif maupun tidak memberikan
penguatan yang diharapkan siswa dalam teknik penghapusan, pada dasarnya adalah
hukuman walaupun tidak langsung. Kalau penguatan negatif dan penghapusan dapat
dikatakan hukuman tidak langsung, maka yang dimaksud dengan hukuan di sini
adalah hukuman langsung, dalam arti dapat dengan segera menghentikan tingkah
laku siswa yang menyimpang.
Dengan kata lain, hukuman adalah penyajian
stimulus tidak menyenangkan untuk menghilangkan dengan segera tingkah laku
siswa yang tidak diharapkan. Yang termasuk alat pendidikan di antaranya ialah
berupa hukuman dan/atau ganjaran
2.
Hakikat adanya Hukuman
Beberapa definisi hukuman telah dikemukakan
oleh beberapa ahli, di antaranya:
1.
Hukuman
adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga
menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan
perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya. (Amin
Danien Indrakusuma, 1973:14).
2.
Menghukum
adalah memberikan atau mengadakan nestapa/penderitaan dengan sengaja kepada
anak yang menjadi asuhan kita dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul
dirasainya untuk menuju kearah perbaikan. (Suwarno, 1981:115).
3.
Perinsip Hukuman
Dalam memberikan suatu hukuman, para
pendidik hendaknya berpedoman kepada perinsip "Punitur, Quia
Peccatum est" artinya dihukum karena telah bersalah, dan "Punitur,
ne Peccatum" artinya dihukum agar tidak lagi berbuat kesalahan, (M.J.
Langeveld, 1995:117). Jika kita mengikuti dua macam perinsip tersebut, maka
akan kita dapatkan dua macam titik pandang, sebagaiman yang dikemukakan oleh
Amin Danien Indrakusuma, (1973:148) yaitu:
1.
Titik
pandang yang berpendirian bahwa hukuman itu ialah sebagai akibat dari
pelanggaran atau kesalahan yang diperbuat. Dengan demikian, pandangan ini
mempunyai sudut tinjauan ke belakang, tinjauan kepada masa yang lampau, yaitu
pandangan "Punitur, Quia Peccatum est";
2.
Titik
pandang yang berpendirian bahwa hukuman itu adalah sebagai titik tolak untuk
mengadakan perbaikan. Jadi, pandangan ini mempunyai sudut tinjau ke muka atau
ke masa yang akan datang, yaitu pandangan "Punitur, ne Peccatur".
4.
Teori Hukuman
Berdasarkan sudut pandang tersebut di atas, maka timbullah
beberapa teori tentang hukuman, di antaranya ialah:
a.
Teori Hukum Alam
1.
Teori
hukum alam ini dikemukakan oleh penganjur Pendidikan Alam, yaitu J.J. Rousseau.
Rousseau tidak menghendaki hukuman yang dibuat-buat. Biarkan alam sendiri yang
menghukumnya. Yang dimaksud di sini ialah, bahwa hukuman itu hendaknya
merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu perbuatan, hukuman harus merupakan
sesuatu yang natuur menurut hukum-hukum alam, sesuatu akibat logis yang tidak
dibuat-buat. Misalnya, anak yang senang memanjat pohon, adalah wajar dan logis
apabila suatu ketika ia jatuh. Jatuh ini adalah merupakan suatu hukuman menurut
alam sebagai akibat dari perbuatanya dari senang memanjat pohon (Amin Danien
Indrakusuma, 1973:148);
2.
J.J.
Rousseau dengan aliran negativisme dalam pendidikan, berpendapat bahwa
pendidikan bagi anak manusia tak berguna. Semua pembawaan anak adalah baik. Ia
membiarkan anak berkembang sendiri dan menyerahkannya kepada alam. Kalau anak
berbuat salah, biarlah alam yang menghukumnya, anak akan menderita sebagai
akibatnya. Hukuman semacam ini dinamai hukum alam.
Contoh, anak bermain dengan air panas dan akhirnya tersiramlah
kakinya. Anak dibiarkan merasakan kakinya sakit, hukuman lain tidak ada
baginya. Dari hukuman alam tersebut, anak akan menerima pendidikan dan berusaha
tidak menjalankan permainan yang berbahaya itu lagi, atau ia meneruskannya akan
tetapi ia berusaha mengelak. (Ag. Soejono, 1980:165)
b.
Teori Ganti Rugi
1.
Dalam
hal ini, anak diminta untuk bertanggung jawab atau menanggung resiko dari
perbuatannya, misalnya anak yang mengotorkan atau merobekkan buku milik
kawannya, maka harus menggantinya. Anak yang berkejar-kejaran di kelas,
kemudian memecahkan jendela, maka ia harus mengganti kaca jendela itu dengan
kaca yang baru (Amin Danien Indrakusuma, 1973:149);
2.
Teori
ganti rugi, di mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya yang
salah, misalnya anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti
dengan uang tabungannya (Soewarnoa, 1992:115).
c.
Teori Menakut-Nakuti
1.
Hukuman
yang diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak tidak melakukan pelanggaran
atau perbuatan yang dilarang, dalam hal ini nilai didik itu telah ada, hanya
saja perlu diperhatikan bahwa hal ini harus dijaga jangan sampai anak itu tidak
berbuat kesalahan lagi hanya karena rasa takut saja, melainkan tidak berbuat
kesalahan lagi karena adanya kesadaran, sebab apabila tidak berbuat kesalahan
itu karena hanya takut, takut kepada bapak atau ibu guru. Maka jika tidak ada
bapak atau ibu guru, kemungkinan besar ia akan mengulang kembali perbuatannya.
Ia akan mengulangi perbuatannya secara sembunyi-sembunyi. Jika terjadi
demikian, maka dapat dikatakan bahwa nilai didik dari hukuman tersebut sangat
minim sekali. (Amin Danien Indrakusuma, 1973:115);
2.
Soewarno
(1992:115), mengemukakan bahwa teori menakutkan ialah memberi hukuman supaya
menimbulkan rasa takut pada anak;
3.
Sedangkan
pendapat Ag. Soejono (1980:164), bahwa teori ini bertujuan menimbulkan rasa
takut kepada orang lain. Biasanya hukuman dilaksanakan di muka umum.
Pelanggaran kedua kalinya dihukum lebih berat, sebab perulangan pelanggaran
berarti jeranya pelanggar. Begitulah hukuman makin lama makin berat, agar orang
lain menjadi lebih takut. Fungsi hukuman dengan teori hukuman menakuti ini
terhadap orang lain juga preventif.
d.
Teori Balas Dendam
Amin Danien Indrakusuma (1973:150),
mengemukakan bahwa macam hukuman yang paling jelek, yang paling jahat dan
paling tidak dipertanggung jawabkan dalam dunia pendidikan ialah hukuman yang didasarkan
kepada rasa sentimen. Sentimen ini dapat ditimbulkan oleh
kekecewaan-kekecewaan (frustasi) yang dialami oleh guru, baik mengenai
hubungannya dengan orang-orang lain, maupun hubungannya dengan para siswa
secara langsung. Misalnya, karena seorang guru merasa dikecewakan dalam hal
cinta oleh seorang gadis atau pemuda, maka ia melempiaskan kekecewaannya itu
kepada para siswanya. Bagi guru muda, tidak terkecuali pria atau wanita,
mungkin merasa bahwa seorang siswa telah dianggap sebagai saingan atau
penghalang dari maksud-maksudnya, maka ia berusaha mencari kesempatan untuk
setiap saat akan menghukum-nya atau menjatuhkannya.
e. Teori Memperbaiki
1.
Satu-satunya
hukuman yang dapat diterima oleh dunia pendidikan ialah hukuman yang bersifat
memperbaiki, hukuman yang bisa menyadarkan anak kepada keinsafan atas kesalahan
yang telah diperbuatnya. Dan dengan adanya keinsafan ini, anak akan berjanji di
dalam hatinya sendiri tidak akan mengulangi kesalahannya kembali. Hukuman yang
demikian inilah yang dikehendaki oleh dunia pendidikan. Hukuman yang bersifat
memperbaiki ini disebut juga hukuman yang bernilai didik atau hukuman
pedagogis. (Amin Danien Indrakusuma, 1973:151);
2.
Teori
inilah yang harus kita gunakan sebagai pendidik, maksudnya untuk memperbaiki
perbuatan anak yang buruk/salah. (Suwarno, 1992:115);
3.
Teori
ini bertujuan untuk memperbaiki. Adapun yang perlu diperbaiki ialah hubungan
antara pemegang kekuaaan dan pelanggar dan sikap serta perbuatan pelanggar.
Hubungan antara penguasa dengan umum yang tadinya telah menjadi rusak dengan
terjadinya pelanggaran oleh orang yang bersikap dan berbuat salah itu perlu
dibetulkan lagi. Rusaknya hubungan itu mengakibatkan hilangnya kepercayaan
penguasa terhadap pelanggar. Fungsi hukuman dengan teori membetulkan ini
korektif dan edukatif.
Di dalam dunia pendidikan, pendidik tidak
menganut teori lain dari pada teori pembetulan. Hal ini sesuai dengan tugas
pendidik, yaitu membimbing anak didik agar berbuat dan bersikap luhur. Tidak
pada tempatnya pendidik menakut-nakuti dan membalas dendam anak didiknya. Anak
didik yang takut pada pendidiknya menutup diri baginya dan tidak bersedia
menerima petunjuk. Pendidik yang membalas dendam anak didiknya menganggap anak
didiknya sebagai musuh, bukan sebagai anak asuhannya. (Ag. Seojono, 1980:165).
Amin Danien Indrakusuma (1973,148)
mengutarakan contoh hukuman paedagogis misalnya anak yang melanggar tata tertib
dapat dihukum dengan cara pembiasan, pengawasan, penyadaran yang diarahkan pada
pembentukan diri sendiri.
f. Teori Melindungi
Teori melindungi, anak dihukum untuk
melindungi lingkungan atau masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan salah yang
merusak/ merugikan lingkungan tersebut. (Suwarno, 1992:115).
g. Teori Menjerakan
Teori ini bertujuan agar pelanggar sesudah
menjalankan hukumannya akan jera dan tidak akan menjalankan pelanggaran lagi.
Fungsi hukuman tersebut adalah preventif, yaitu mencegah terulangnya
pelanggaran sesudah pelanggar dikenai hukuman.
B. Menurut Para Pakar Pendidikan Tentang Hukuman
1. Para Ahli yang Kontra Hukuman dalam Pendidikan
A.L Gary Gore dalam Suwarno (1992) salah seorang tokoh yang kontra
terhadap hukuman badan mengatakan,
"Anak-anak tidak boleh dididik dengan ketakutan. Janganlah
dibina dengan paksaan-paksaan yang tidak mereka pahami. Seorang pendidik yang
ingin memaksakan kehendaknya kepada anak-anak, secara tidak sadar sedang
mengajarkan bahwa kebenaran itu (harus dilakukan) dengan paksaan. Efek negatif
lain dari kekerasan yang diterima anak-anak adalah anak-anak tidak melakukan
pelanggaran karena takut akan pukulan (bukan lahir dari kesadaran
mereka-peny.), sementara sifat buruknya tetap bersemayam di dalam dirinya.
Pukulan tidak membawa kebaikan sama sekali bahkan merugikan. Rasa sakit itu
akan masuk dalam memorinya. Masih ada orangtua yang sampai sekarang berpikiran
bahwa anak-anak harus belajar sesuatu dengan pukulan, padahal anak-anak yang
sering menerima kedisiplinan yang keras tersebut sebenarnya berusaha memerankan
anak yang baik di depan mata orangtuanya, sementara jiwanya membelakangi
mereka."
Orangtua harus paham bahwa secara lahiriah hukuman
fisik itu memang berhasil tapi pada hakikatnya orangtua akan merasakan berbagai
kegagalan. Di depan orangtua anak-anak yang nakal itu bisa diselesaikan dengan
hukuman fisik, tapi karena mereka memiliki tabiat yang buruk maka kenakalan
mereka tetap tidak bisa dihentikan. Jika seorang anak menghentikan kebiasaan
buruknya karena mendapatkan hukuman fisik, berarti si orangtua berhasil
menanamkan rasa jera kepada si anak, namun keberhasilan ini harus ditebus
dengan efek negatif lain yang tidak kurang buruknya, yaitu anak-anak yang
dihukum secara fisik tersebut akan menderita ketakutan, atau memiliki sifat
pengecut.
Selain itu perlu dicamkan dalam benak orangtua bahwa
hukuman fisik itu bisa mengganggu sistem saraf anak-anak. Dalam kebanyakan
kasus hukuman fisik itu selalu merusak saraf. Hukuman fisik juga kalau
terus-terusan akan menimbulkan gejala mental yang tidak sehat.
Mendisiplinkan anak dengan hukuman fisik memang akan
membuat anak tersebut menjadi patuh tapi bagaimana dewasanya kelak? Anak-anak
yang lemah akan berubah menjadi anak-anak pemurung, apatis, minder dan penakut
sementara anak-anak yang bengal akan tumbuh menjadi anak yang keras kepala. Di
samping itu, efek buruk lain bagi kedua jenis anak tersebut adalah mereka menjadi
terlatih untuk menjadi pendendam, pembohong dan penipu, hingga lenyaplah dunia
anak-anak mereka yang polos, lucu dan ceria.
Sang pakar tersebut menambahkan,
"Semenjak kecil anak-anak ingin mengetahui segala hal yang ada
di sekelilingnya. Kalau bisa mereka ingin melihat segala hal dan menyentuh
benda-benda yang dilihatnya. Anak-anak yang sehat biasanya sangat aktif dan
suka merusak benda-benda yang dipegangnya. Dan kadang-kadang anak-anak itu suka
melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya dan orang lain. Tapi meskipun
dengan segala macam kenakalannya itu, orangtua tidak menganggap anak itu
memiliki tabiat yang buruk. Anak-anak itu aktif karena ingin melakukan sesuatu
atau untuk menunjukkan jati diri. Sikap si anak ini bukan hanya tidak boleh
ditekan, tetapi harus dibantu agar semakin aktif. Karena kalau ditekan, otak si
anak akan menjadi lambat dan perkembangan mental serta motorik si anak akan
terhambat. Anak-anak harus dibiarkan mengekspresikan keinginan-keinginannya
tapi bukan berarti dibiarkan melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya. Jika
anak balita ingin menyentuh sesuatu yang berbahaya kita bisa menggantikannya
dengan benda yang lebih aman bagi dirinya.
Anak-anak yang menerima hukuman fisik biasanya akan diam sambil
menangis dan berjanji akan mematuhi orangtuanya dan orangtua biasanya akan
merasa senang karena (dia menyangka) anaknya berhasil dididik dengan cara
demikian. Namun dalam kebanyakan kasus keberhasilan itu harus ditebus dengan
kegagalan yang pahit. Sangat jarang sekali hukuman itu berhasil menanamkan
kesadaran kepada diri anak. Meskipun hukuman fisik itu diterapkan secara
bertahap, tetap saja di dalam diri si anak akan muncul sikap-sikap negatif
terhadap suasana dan lingkungannya. Ia akan menunjukkan sikap tidak suka dan
tidak lagi berselera untuk mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dan
pada sebagian besar anak berkembang sifat-sifat negatif seperti penakut,
pemurung dan minder, memang tidak kelihatan secara langsung karena ia
menyimpannya di dalam dirinya.".
Untuk mendidik anak-anak yang masih kecil, usahakanlah
terlebih dahulu agar anak-anak itu memahami keinginan orang dewasa,
mempercayainya dan tidak keberatan mematuhi perintah-perintahnya. Kalau tidak
demikian jangan menyuruh mereka secara paksa. Artinya orangtua atau guru
pendidik sangat diharapkan untuk menghargai perasaan dan pikiran anak-anak.
Hukuman model ini sebagai bagian dari proses pembinaan
anak-anak ditolak secara mutlak oleh pakar ini. Hukuman apapun, menurutnya,
tidak efektif dan juga sangat beresiko apalagi hukuman fisik.
Di antara argumentasi yang disodorkan oleh kelompok yang kontra adalah
bahwa anak-anak kecil itu tidak memahami konsep salah dan benar dan juga tidak
bermaksud melakukan hal yang salah, tetapi ini bisa dijawab bahwa, Hukuman itu
baru diberikan kalau anak sudah diberi penjelasan dan pada saat metode lain
untuk menghentikan perbuatan buruk si anak tidak efektif lagi.
Anak-anak juga pada akhirnya harus diajarkan mana perbuatan yang baik dan
yang buruk. Mereka harus mengerti perilaku apa saja yang bisa diterima oleh
orangtuanya dan orang lain sebab ia akan berinteraksi kelak dengan mereka. Dan
hukuman itu membuat mereka mengetahui apa saja yang bisa mereka lakukan dan apa
yang tidak boleh ketika ada di tengah-tengah masyarakat.
Hukuman itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman
itu agar anak-anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi
perbuatan jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam
pendidikan jangan dikelirukan dengan balas dendam.
Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan
sebagainya berakar dari hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima
oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus
dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."
Tetapi argumentasi beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu
hanyalah klaim dan belum tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua ,
seandainya kita terima pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu
berakar dari hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya
adalah terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman itu. Hukuman ekstrim
itulah yang menjadi sumber penderitaan umat manusia.
Russel menambahkan, "Hukuman fisik yang ringan memang tidak
begitu berbahaya, tapi tetap saja tidak ada gunanya dalam pendidikan. Hukuman
seperti itu baru efektif kalau bisa menyadarkan si anak. Sementara hukuman
fisik seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera. Hukuman fisik itu membuat
si anak merasa terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri."
Jawabannya bahwa anak-anak akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman
itu, dan kemudian dia akan lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi
orang lain dan karena ia ingin diterima oleh orang lain, ia akan berusaha
menyesuaikan keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan
bantuan atau memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan
demikian, hukuman fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan
kadar dan waktu yang tepat.
Argumen lain yang disodorkan oleh kelompok penentang adalah bahwa
pendidikan yang dijalankan dengan menanamkan rasa takut kepada si anak, akan
membuat si anak seperti robot yang harus mengikuti suatu perintah. Proses
pendidikan seperti itu sangat membahayakan perkembangan jiwa si anak, karena
akan melahirkan anak-anak yang bermental budak yang harus tunduk terhadap
segala perintah.
Hal ini masih bisa dibantah dengan kenyataan bahwa memang anak-anak tidak
boleh dididik dengan sistem perbudakan, tapi tidak semua hukuman itu akan
melahirkan kondisi demikian. Kalau hukuman itu dijalankan dengan benar dan
dengan memperhatikan seluruh syarat-syaratnya maka tidak akan lahir anak-anak
seperti itu.
Seorang anak yang terus-menerus melakukan perbuatan yang buruk padahal
sudah sering kali diperingatkan agar tidak melakukan perbuatan tersebut mau
tidak mau harus dihentikan dengan hukuman, sebab kalau kebiasaan buruknya tidak
segera dihentikan, maka sang anak malah akan semakin berani. Tentunya hukuman
itu harus ringan dan mengena kepada sasaran.
Dalih lain menurut kelompok tersebut bahwa hukuman itu sama sekali tidak
mendidik, sebab hukuman itu tidak menghilangkan motivasi buruknya. Memang ia
akan mengurungkan niatnya karena perasaan takut, tapi di dalam batinnya
keinginan itu tetap ada. Ketika rasa takut itu hilang si anak akan kembali
mengulangi perbuatan buruknya. Pukulan itu mungkin dihadapi oleh si anak dengan
pura-pura berjanji akan menghentikan kebiasaan buruknya. Karena itu patut
diingat statemen mereka bahwa hukuman juga akan melahirkan anak-anak yang
asosial, penakut serta pasif.
Jawabannya: kami pun menerima pernyataan Anda bahwa hukuman itu tidak
menghentikan apa yang bergetar di dalam batin. Untuk menghentikan
kenakalan-kenakalannya kita harus mempelajari apa sebetulnya yang menjadi latar
belakang kenakalan-kenakalannya dan kita cari solusinya sehingga anak-anak itu
tidak mengulangi perbuatan buruknya. Tetapi jika si anak tetap saja mengulangi
perilaku jeleknya, maka tidak ada cara lain selain memberinya hukuman. Rasa
takut akan hukuman itu dapat menghentikan keinginan atau minimal mengurangi
minatnya untuk berbuat buruk. Kalau hukuman itu diberikan secara proporsional,
tidak akan melahirkan hal-hal yang tidak diharapkan. Memang benar seorang anak
harus tumbuh dalam keceriaan dan kebebasan tapi pada saat yang sama anak-anak
juga harus diajari bahwa di dunia ini tidak semua orang bisa hidup dengan
kebebasan mutlak, apalagi kalau kebebasan itu dapat merugikan orang lain.
2. Para Ahli yang Pro Hukuman dalam Pendidikan
Sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan
diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru
atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau
dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman
itu boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi
dapat mengusik kesadarannya.
Dalam kaitan ini, Russel menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin
mengatakan bahwa hukuman dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan
mungkin hanya masuk sebagai alternatif kedua."
John Locke menulis, "Benar bahwa hukuman fisik kadang-kadang
diperlukan. Tetapi harus disadari bahwa tujuan sebuah pendidikan adalah
mendidik moral. Yang harus kita lakukan adalah membuat si anak tersebut merasa
malu berbuat nakal dan bukan malah takut akan hukuman. Hukuman yang terlalu
keras melatih anak-anak menjadi patuh secara lahiriahnya saja."
A.L Gary Gore menulis, "Ada
kalanya orang dewasa harus memberikan hukuman kepada anak-anak. Misalnya jika
anak-anak usia sekolah atau sudah agak dewasa mengganggu ayah dan ibu mereka
yang sedang tidur. Sebelumnya mereka sudah diperingatkan tapi tetap saja
meneruskan kenakalannya, maka anak-anak itu harus diberi hukuman. Hukuman dalam
kasus seperti ini ditujukan untuk melatih anak-anak memiliki kepekaan terhadap
lingkungan, memiliki rasa tanggung jawab dan kemampuan mengendalikan
diri."
Sebaliknya orangtua selayaknya menggunakan hukuman ini dengan cara dan
strategi yang tepat. Kalau hukuman itu dilaksanakan ketika orangtua dalam
puncak kemarahan dan tanpa pertimbangan terhadap kondisi dan psikologi
anak-anak, maka bisa-bisa hukuman itu akan merusakkan hubungan orangtua dan
anak. Si anak akan kehilangan kepercayaan dan juga akan mendendam. Hukuman
asal-asalan terhadap anak karena tidak mematuhi keinginan orangtua malah akan
melukai hatinya. Sehingga timbul dalam diri si anak keinginan untuk membalas
rasa sakit hatinya itu. Sebelum menjatuhkan hukuman terhadap anak-anak
sebaiknya pertimbangkanlah secara baik-baik dan pelajari manfaat dan mudaratnya
secara seksama. Hukuman apa dan dalam kondisi bagaimana hukuman itu patut
diberikan dan tidak patut diberikan terhadap anak-anak.
Pakar pendidikan ini ingin mengatakan bahwa hukuman memang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi
tertentu mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali
tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan dengan
hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.
Ia menambahkan, "Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan
hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman
dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Hindarilah
hukuman-hukuman seperti memukul, atau menyekap anak di ruangan yang gelap dan
sempit."
C.
Jenis-Jenis Hukuman dalam Pendidikan
Hukuman itu wajar tetapi hendaknya bersifat mendidik. Maksudnya
dengan adanya hukuman siswa menjadi tahu / faham tentang kesalahan yang
dilakukannya, tanpa merampas “ batas kemanusiaannya.” Dengan kata
lain hukuman dari pendidik kepada peserta didik harus bersifat mendidik. Jadi
hukuman harus ada relasi dengan pengetahuan, pengembangan mental, disiplin,
sifat kemanusiaan, kemandirian dan ketidakragu-raguan. Misalnya hukuman
menghafalkan pembukaan UUD 1945, membuat puisi, menambah jumlah soal PR,
membuat cerpen tentang siswa terhukum dan lain-lain. Pendeknya hukuman itu ada
gunanya bagi pengembangan wawasan, kreativitas, kesadaran siswa yang terhukum.
Bukan sebaliknya seperti yang acap terjadi hukuman hukuman bersifat menjerakan,
menyusahkan dan meninggalkan rasa jengkel, tidak puas dan menambah rasa benci
siswa terhadap pendidiknya ( pemberi hukuman itu )
Tokoh pendidik Ki Hajar Dewantara mengemukakan pendapatnya bahwa
dalam memberikan hukuman kepada anak didik, seorang pendidik harus memperhatikan
3 macam aturan.
1.
hukuman harus selaras dengan
kesalahan. Misalnya, kesalahannya memecah kaca hukumnya mengganti kaca yang
pecah itu saja. Tidak perlu ada tambahan tempeleng atau hujatan
yang menyakitkan hati. Jika datangnya terlambat 5 menit maka pulangnya
ditambah 5 menit. Itu namanya selaras. Bukan datang terlambat 5
menit kok hukumannya mengintari lapangan sekolah 5 kali misalnya. Relasi apa
yang ada di sini ? Itu namanya hukumn penyiksaan.
2.
hukuman harus adil. Adil harus
berdasarkan atas rasa obyektif, tidak memihak salah satu dan membuang perasaan
subyektif. Misalnya siswa yang lain membersihkan ruangan kelas kok
ada siswa yang hanya duduk – duduk sambil bernyanyi-nyanyi tak ikut
bekerja. Maka hukumannya supaya ikut bekerja sesuai dengan teman-temannya
dengan waktu ditambah sama dengan keterlambatannya tanpa memandang siswa
mana yang melakukannya.
3.
hukuman harus lekas dijatuhkan. Hal ini
bertujuan agar siswa segera paham hubungan dari kesalahannya. Pendidik
pun harus jelas menunjukkan pelanggaran yang diperbuat siswa. Dengan harapan
siswa segera tahu dan sadar mempersiapkan perbaikannya. Pendidik
tidak diperkenankan asal memberi hukuman sehingga siswa bingung
menanggapinya.
Itulah wasiat Ki Hajar Dewantara yang dapat digunakan sebagai
pedoman dan pertimbangan para guru / kepala sekolah yang sering
mengangkat dirinya berfungsi ganda. Pertama berfungsi sebagai polisi, kemudian
jaksa dan sekaligus sebagai hakim di sekolahnya. Guru/kepala
sekolah memang mempunyai superioritas yang tinggi terhadap siswanya. Tidak
heran akhirnya bak raja di atas tahta,segala perintah, siswa dipaksa menerima
dan menurut. Kesuperioritasannya boleh lestari asalkan tidak merugikan anak
didik. Hal itulah menuntut pendidik bersifat bijak, sehingga hukuman tak boleh
semena-mena terhadap anak didik.
Dalam memberikan hukuman hendaknya
menggunakan beberapa prinsip sebagai berikut
1.
kepercayaan
terlebih dahulu kemudian hukuman. Metode terbaik yang tetap harus
diprioritaskan adalah memberikan kepercayaan kepada anak. Memberikan
kepercayaan kepada anak berarti tidak menyudutkan mereka dengan
kesalahan-kesalahannya, tetapi sebaliknya kita memberikan pengakuan bahwa kita
yakin mereka tidak berniat melakukan kesalahan tersebut, mereka hanya khilaf
atau mendapat pengaruh dari luar. Memberikan komentar-komentar yang mengandung
kepercayaan, harus dilakukan terlebih dahulu ketika anak berbuat kesalahan.
Hukuman, baik berupa caci maki, kemarahan maupun hukuman fisik lain, adalah
urutan prioritas akhir setelah dilakukan berbagai cara halus dan lembut lainnya
untuk memberikan pengertian kepada anak.
2.
hukuman
distandarkan pada perilaku. Sebagaimana halnya pemberian hadiah yang harus
distandarkan pada perilaku, maka demikian halnya hukuman, bahwa hukuman harus
berawal dari penilaian terhadap perilaku anak, bukan ’pelaku’ nya. Setiap anak
bahkan orang dewasa sekalipun tidak akan pernah mau dicap jelek, meski mereka
melakukan suatu kesalahan.
3.
menghukum
tanpa emosi. Kesalahan yang paling sering dilakukan orangtua dan pendidik
adalah ketika mereka menghukum anak disertai dengan emosi kemarahan. Bahkan
emosi kemarahan itulah yang menjadi penyebab timbulnya keinginan untuk
menghukum. Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang
menginginkan adanya penyadaran agar anak tak lagi melakukan kesalahan, menjadi
tak efektif. Kesalahan lain yang sering dilakukan seorang pendidik ketika
menghukum anak didiknya dengan emosi, adalah selalu disertai nasehat yang
panjang lebar dan terus mengungkit-ungkit kesalahan anak. Dalam kondisi seperti
ini sangat tidak efektif jika digunakan untuk memberikan nasehat panjang lebar,
sebab anak dalam kondisi emosi sedang labil, sehingga yang ia rasakan bukannya
nasehat tetapi kecerewetan dan omelan yang menyakitkan.
4.
hukuman
sudah disepakati. Sama seperti metode pemberian hadiah yang harus
dimusyawarahkan dan didiologkan terlebih dahulu, maka begitu pula yang harus
dilakukan sebelum memberikan hukuman. Adalah suatu pantangan memberikan hukuman
kepada anak, dalam keadaan anak tidak menyangka ia akan menerima hukuman, dan
ia dalam kondosi yang tidak siap. Mendialogkan peraturan dan hukuman dengan
anak, memiliki arti yang sangat besar bagi si anak. Selain kesiapan menerima
hukuman ketika melanggar juga suatu pembelajaran untuk menghargai orang lain
karena ia dihargai oleh orang tuanya.
SIMPULAN DANN PENUTUP
A. Simpulan
Guru hendaknya memberikan nasehat kepada siswanya dengan kelembutan. Guru
di tuntut berperan sabagai orang tua yang dapat merasakan apa yang dirasakan
anak didiknya, jika anak memperlihatkan suatu kemajuan, seyogianya guru memuji
hasil usaha muridnya, berterima kasih padanya, dan mendukungnya terutama
didepan teman-temannya.
Guru perlu menempuh prosedur yang berjenjang dalam mendidik dan menghukum
anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila pada suatu kali anak menyalahi
perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan membeberkan
kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya itu mungkin akan membuatnya
semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan
halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya.
Menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit
kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan
hal tersebut Al-Ghazali menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat
karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau
orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya.”
Seorang pendidik harus mengetehui cara pertumbuhan akal manusia yang
bertahap hingga ia mampu mensejalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya
terhadap anak didik. Ia menasehatkan agar tidak kasar dalam memperlakukan anak
didik yang masih kecil, mencubit tubuh dalam pengajaran merusak anak didik,
khususnya anak kecil.
Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan
dan mendorong mereka untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan
pengajaran. Oleh karena itu pendidik harus memperlakukan anak didik dengan
kelembutan dan kasih sayang serta tegas dalam waktu-waktu yang diutuhkan untuk
itu.
B.
Saran
Diharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua sebagai seorang
pendidik dan sebagai referen ketika kita dihadapkan dengan berbagai persoalan
yang kita hadapi ketika menjadi seorang pendidik atau guru. Karena siswa
memiliki watak dan sifat yang berbeda terkadang menyebabkan kita marah dan terbesit
amarah yang tidak terkendali sehingga terkadang kita bukan menjadi seorang guru
yang digugu dan ditiru.
Psikologis anak perlu sentuhan yang halus, lentur dan manis
sehingga bisa membuat sensivitas perasaannya terasah normal. Hukuman terhadap
siswa harus berlandaskan keseimbangan. Misalnya dari strata paling rendah,
siswa yang nakal dibina dulu oleh wali kelas. Apabila masih belum bisa
ditolerir dikenakan hukuman skorsing tidak boleh mengikuti kegiatan sekolah.
Sedangkan hukuman di strata puncak jika memang sekolah tidak mampu membina
lagi, kembalikan kepada orang tuanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A.S.
(1990). Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Qur'an. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Ag. Soejono. (1980). Pendahuluan Ilmu Pendidikan
Umum. Bandung:
CV. Ilmu.
Baharits,A.H.S.
(1996). Tanggung Jawab
Ayah Terhadap Anak
Laki-Laki. Jakrta: Gema
Insani Press.
Indrakusuma, A.D. (1973).
Pengantar Ilmu Pengetahuan. Malang: Fakultas
Ilmu Pendidikan IKIP Malang.
J.J. Hasibuan, dkk. (1988). Proses Belajar
Mengajar. Bandung:
Remaja Karya.
………….. (1992).
Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Remaja Rodakarya.
JVS. Tondowidjojo CM. (1991). Kunci Sukses
Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Rahmat, J. (1994). Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya.
Soeitoe, S. (1982).
Psikologi Pendidikan. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Sukadipura, B. (1982). Aneka Problema Keguruan.
Bandung: Angkasa.
Suwarno. (1992). Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakrta:
PT. Rineka Cipta.
Tafsir, A. (1992).
Ilmu Pendidikan Dalam
Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.